Senin, 22 Desember 2014

PENDEKAR TONGKAT EMAS, WELL DONE

Tidak mengecewakan meskipun masih di bawah ekspektasi. Kira-kira begitu pendapat sambalbawang setelah nonton film Pendekar Tongkat Emas. Harus diakui, ini film laga bergenre silat produksi dalam negeri yang bisa jadi paling menarik.

Sebenarnya jalinan cerita lumayan gampang ditebak. Menceritakan ambisi kekuasaan berbalut dendam, merangkul kisah masa lalu, ditempeli cerita pengkhianatan, tapi tetap ditaburi contoh perbuatan baik. Hasil akhir, si baik pemenangnya.

Cempaka, diperankan secara apik oleh aktris kawakan Cristine Hakim menjadi pembuka cerita. Hanya saja durasi bermenit-menit kelamaan. Tapi barangkali itulah pengantar terbaik untuk mempercepat penonton memahami alur cerita.

Usia uzur memaksa Cempaka yang menguasai jurus Tongkat Melingkar Bumi--yang konon tak terkalahkan--meski menurunkan ilmu ke satu dari empat murid. Jurus keramat itu hanya bisa menitis ke pribadi yang baik. Satu "paket" dengan ilmu itu adalah tongkat emas.

Tiga dari empat murid Cempaka adalah anak dari musuh-musuh yang pernah ditaklukkan Cempaka. Mereka adalah Biru (diperankan Reza Rahardian), Gerhana (Tara Basro), dan Dara (Eva Celia). Satu murid lainnya, dan yang termuda, adalah Angin (Aria Kusumah). Angin adalah murid "temuan", lantaran dibuang oleh orang tuanya.

Dari sinilah jalinan cerita menggelinding. Cempaka yang sakit--karena diracun Gerhana dan Biru--merasa saatnya sudah dekat. Cempaka lantas memutuskan menyerahkan tongkat emas ke Dara. Itu membuat Biru dan Gerhana marah. Tongkat emas seharusnya diwariskan ke Biru, murid paling senior. Angin--yang masih usia anak--memihak Dara.

Biru dan Gerhana lalu mengawali aksi keji membunuh sang guru, Cempaka. Sayangnya Cempaka enggak diberi ruang untuk unjuk kebolehan di sisa akhir tenaganya. Sedikit ngganjel di hati karena Cempaka kok gampang dibunuh, tapi ya sudahlah, itu haknya si pembuat film.

Sebelum tewas, Cempaka sempat berpesan ke Dara. Apabila Cempaka tewas sebelum sempat menurunkan ilmunya itu, Dara harus menemui seseorang bernama Naga Putih.

Sementara itu, Biru dan Gerhana terus mencari korban. Dara dan Angin tentu saja yang ada dalam daftar. Untunglah di saat genting muncul Elang (Nicholas Saputra), yang belakangan diketahui adalah anak Naga Putih. 

Siapa Naga Putih? Usut punya usut, Naga Putih dan Cempaka itu pernah terlibat cinta sesaat saat mereka muda, yang akhirnya "menghasilkan" si Elang tadi.


Tapi saat itu Cempaka dan Naga Putih yang berguru dalam satu padepokan, harus berpisah. Sang guru di padepokan memilih Cempaka sebagai pewaris tongkat emas. Naga Putih yang tak mau lagi berjibaku di dunia persilatan, dengan getir membawa bayi Elang. Mereka naik perahu, menyepi jauh dari keramaian. Tak lupa sumpah diucapkan, yang intinya mereka berdua tak akan saling mencampuri urusan masing-masing.

Jalan cerita selanjutnya ya masih mudah ditebak. Biru dan Gerhana mengarang cerita bahwa Dara dan Angin-lah yang membunuh Cempaka. Padepokan silat tetangga percaya cerita itu, dan ikut memburu Dara dan Angin. Pertarungan tak terhindarkan. Dara lolos, tapi Angin menemui ajal karena melindungi Dara.

Dara yang ingin secepatnya balas dendam, ditenangkan Elang. Belum saatnya, karena ilmu Dara tak bakal bisa menandingi Biru, maupun Gerhana. Balas dendam tanpa persiapan hanya berujung kematian sia-sia.

Maka berlatihkan Dara dan Elang. Seiring waktu mereka mengerti kalau ilmu Tongkat Melingkar Bumi akan lebih dasyat jika dipraktekkan berdua. Seperti dahulu ketika Cempaka (muda) dan Naga Putih duet tanding dan menjadi jawara tanpa tanding.

Laga klimaks dalam film tentu saja duel Elang dan Dara melawan Biru dan Gerhana. Tongkat emas di tangan Biru ternyata tak berdaya. Hasil akhir laga, Biru dan Gerhana tewas, meninggalkan anaknya yang lalu diangkat Dara sebagai anak sekaligus murid. 

Film produksi Miles Film dan Kompas Gramedia (KG) Studio ini menjadi menarik karena ada adegan yang menampilkan penggal kata-kata puitis. Misalnya waktu Cempaka memberi wejangan atau saat di awal cerita menyampaikan narasi. Namun kehebatan Cristine Hakim harus diakui membawa pengaruh.

Mira Lesama, Riri Reza, Ifa Isfansyah, Seno Gumira, hingga Jujur Prananto yang didapuk menggarap skenario, cukup sukses menjalin adegan laga yang "berteman" dengan kisah drama. Tapi, asyiknya, mereka masih setia pada alur cerita yang simpel.

Mereka juga jeli memilih pemeran bukan dari atlet beladiri yang dilatih berakting. Melainkan aktor dan aktris yang diajari dulu beladiri oleh penata koreografi asal Hongkong, Xion Xin Xin--yang dulu pernah jadi pemeran pengganti Jet Lee. Setidaknya ada "garansi" kualitas adegan jual-beli pukulan, dan untunglah itu yang tersaji di film.

Kalau mencerna duel demi duel, kentara terlihat kualitas gambar coba digeber total. Adegan-adegan tidak nampak berlebihan. Tidak ada aksi melayang yang kaku, atau naik senjata terbang. Gerhana yang terkena tendangan bertubi-tubi, ya langsung ambruk, diam tak bergerak. Enggak mendelik, mengejang, atau melontarkan satu-dua kata sebelum game over.

Jeritan khas film laga bikinan dalam negeri seperti "ciaaat" dan "Hiyaaat" juga diparkir, kagak dijejalkan ke film. Aksi terbang yang lebay, dentuman tenaga dalam, dan sumpah serapah, juga enggak dikasih tempat. Ini benaran dibikin jadi film laga klasik yang simpel. 

Latar belakang alam Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur yang berupa padang rumput dan sungai berair jernih lumayan memberi nuansa. Mungkin juga jadi indah karena film-film silat sebelumnya kebanyakan berlatar belakang serba Jawa.

Jika pernah nonton film Lord of The Ring dan The Hobbit, tentu akan terpesona akan alam Selandia Baru. Maka barangkali usai menyaksikan film Pendekar Tongkat Emas, bisa mengagendakan piknik ke Sumba. Sambalbawang juga punya rencana itu. Kapan terwujud, ya entah. Siapa tahu ada pembaca review film di blog sambalbawang ini yang akan ngasih sponsor. 

Sebelum lupa, untuk mengakhiri tulisan, sambalbawang akan memberi sedikit kritik. Enggak fair juga kan, jika setelah memuji, tapi enggak memberikan kritik ke film berbiaya Rp 25 miliar itu.

Pertama, sambalbawang agak terganggu dengan istilah "datuk" yang merupakan dewan persilatan tertinggi. Istilah "datuk" ini kan kurang bernuansa Indonesia. Agaknya lebih cocok diganti dengan "sesepuh silat", atau apa lainnya gitu

Kedua, adegan laganya. Memang enggak bisa berharap adegannya setara film laga negara barat. Namun adegan laga di film ini masih terlalu sederhana. Atau mungkin sambalbawang yang terlampau berharap ya. Mungkin agak menarik juga kalau dikasih satu-dua adegan slow motion agar sedikit dramatis. 

Kalau berharap Dara dan Elang akan banyak memakai tongkat emas, juga siap-siap saja kecewa. Gerhana tidak keok dengan tongkat itu. Dan hanya Biru, yang kena ajian pamungkas. Saat Biru mengayun balok kayu dan disambut tongkat emas--yang dipegang bareng oleh Dara dan Elang--tongkatnya menembus kayu. Kemudian menembus badan Biru. Yah nampaknya itulah "kesaktian" si jurus keramat tersebut.

Kritik selanjutnya, adalah penggalan cerita yang rada kurang nendang di beberapa adegan. Cempaka misalnya, kok ya enggak sadar kalau diracun (pelan-pelan) oleh Biru dan Gerhana. Lalu si Naga Putih, di usia tua juga enggak dikasih kesempatan nongol unjuk kebolehan. Padahal si Naga kan mestinya mengajari Elang dan Dara untuk tandem membawakan jurus Tongkat Melingkar Bumi. Dan si Elang kan juga lumayan bisa jurus itu.... Hehe.

Kritik keempat, adalah kok ada penggal adegan yang enggak perlu. Seperti ketika Elang pergi ke desa tapi ternyata hanya untuk menagih utang. Sambalbawang jadi membayangkan, Elang akan lebih bersahaja kalau pekerjaannya bertani atau jadi guru sekolah. Eh ya bener, kan.

Terlepas dari kritik, sambalbawang beri apresiasi ke film ini. Jujur saja, ini film yang sudah dinanti bertahun-tahun. Koreografi beladirinya lebih sip dan serius, serta logis, ketimbang serial Misteri Gunung Merapi--yang pernah tayang 10-15 tahun lalu. Juga ketimbang film kolosal Saur Sepuh di era 80-an silam.

Memang dari segi alur cerita, ya datar. Tapi untung saja, adegan bisa dirangkai efektif, enggak bertele-tele. Fokus pada beberapa tokoh dan setia pada plot cerita. Imbasnya bikin film ini mudah dicerna. Dan bukanlah film silat memang enggak perlu dibikin rumit jalan ceritanya, bukan?

Duel demi duel dan aksi tongkat lumayan memukau. Inilah mungkin puncak tertinggi kualitas film silat di Tanah Air. Pesan yang hendak dituangkan, mengena. Enggak perlu jadi orang paling hebat untuk terpilih sebagai yang paling pantas mengemban tugas berat. Kebaikan dan kerendahan hati adalah modal utama.

Saya bangga nonton film ini meski hanya bareng delapan orang di dalam bioskop. Hiks, tapi tak mengapa. Selamat dan salut untuk semua artis pemeran dan kru film. Salam juga untuk dek Gerhana. Kamu yang paling tjakep, deh. Boleh minta nomer telponnya?


BACA JUGA ARTIKEL LAIN:
EVEREST
MAMMA MIA HERE WE GO AGAIN, ABBA AGAIN
MAMMA MIA FILM MUSIKAL FULL LAGU ABBA
MENGAPA HARUS NGEBLOG
JURASSIC WORLD VS JURASSIC PARK
THE BEATLES FOREVER
ABBA TALENTA TERBAIK MUSIK SWEDIA

Pendekar Tongkat Emas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar